Kasus Kopi Sianida Jessica dalam “Perspektif Netflix”
Kasus pembunuhan “Kopi Sianida Jessica” yang terjadi 7 tahun silam kini marak kembali setelah Netflix merilis film dokumenter berjudul “Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso”. Film ini mengklaim dapat menjawab segala pertanyaan yang menjadi keraguan publik selama ini. Jessica Kumala Wongso didakwa menjadi pelaku pembunuhan sahabatnya sendiri, Wayan Mirna Salihin, dengan mencampurkan racun sianida pada kopi Vietnam yang diminum Mirna (27) di kafe Olivier, Mall Grand Indonesia pada 6 Januari 2016.
Film dokumenter “Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso” dirilis pada 28 September 2023 berdurasi 1 jam 26 menit. Film ini menyajikan berbagai dokumen dan rekaman video yang terkait dengan kasus tersebut. Dokumenter ini juga menampilkan wawancara baru dari Edi Darmawan Salihin (ayah Mirna), Otto Hasibuan (pengacara Jessica Wongso), Erasmus Napitupulu (Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)), Budi Budiawan.
Dokumenter ini mencoba memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kasus tersebut dan menjawab beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Meski demikian, dokumenter ini tidak berhasil menjawab pasti tentang siapa yang sebenarnya pembunuh Mirna Salihin.
Sejak dirilis, dokumenter ini telah menarik perhatian publik karena memberikan sudut pandang baru tentang kasus pembunuhan tersebut. Banyak warganet yang merasa bahwa dokumenter ini dapat membantu memecahkan beberapa misteri yang belum terjawab dalam kasus tersebut. Bahkan, tidak sedikit netizen yang merasa bahwa Jessica Wongso tidak bersalah setelah menonton film tersebut.
Jessica Kumala Wongso diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan melakukan pembunuhan berencana berdasarkan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun motif bukan unsur utama dalam Pasal 340 KUHP, majelis hakim mempertimbangkan motif perasaan iri hati yang mungkin mendorong Jessica untuk melakukan tindakan tersebut.
Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, mempertanyakan substansi materi replik jaksa penuntut umum. Otto menyoroti hasil analisis patologi yang tidak mendeteksi adanya sianida dalam lambung korban, serta tidak adanya saksi mata yang melihat langsung tindakan Jessica menuangkan sianida ke dalam gelas kopi. Argumen Otto ini menekankan perlunya bukti yang kuat dan langsung dalam menentukan kesalahan seseorang dalam hukum pidana.
Sementara pendapat pakar hukum pidana lainnya mempunyai pandangan yang berbeda. Prof. Edward Omar Syarif Hiariej menegaskan bahwa motif tidak harus ada dalam pembunuhan berencana. Meskipun motif dapat digunakan sebagai instrumen untuk membuktikan perbuatan yang disengaja, penuntut umum tidak diwajibkan untuk menguraikan motif tersebut. Yang harus dibuktikan adalah unsur “dengan sengaja” dan unsur-unsur lain dalam Pasal 340 KUHP. Terdapat beberapa kesaksian dan bukti yang memberatkan Jessica, seperti memesan minuman jauh lebih dulu dari kedatangan Mirna dan perilaku Jessica yang aneh. Jaksa dan hakim menggunakan beberapa bukti untuk memperkuat dakwaan mereka. Tiga bukti yang diatur dalam KUHAP dianggap sah oleh hakim, yaitu CCTV, keterangan saksi, dan keterangan ahli. CCTV dianggap sebagai alat bukti yang sah selama berkesesuaian dengan keterangan saksi dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Selain itu, hakim juga mengesampingkan keterangan ahli Mudzakkir soal otopsi yang terdapat di dalam Peraturan Kapolri.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa Jessica Kumala Wongso bersalah atas kematian Mirna Salihin dan menjatuhkan hukuman selama 20 tahun penjara kepada terdakwa. Majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan Jessica yakni akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan korban meninggal dunia, perbuatan Jessica adalah keji dan sadis karena dilakukan kepada teman sendiri, terdakwa tidak pernah menyesal, dan tidak mengakui perbuatan sendiri. Sementara hal yang meringankan adalah Jessica masih muda dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya di masa mendatang. Namun, banyak pihak yang meragukan kebenaran vonis tersebut dan menilai tidak ada bukti kuat yang mengarah kepada Jessica sebagai pembunuh Mirna Salihin.
Penasihat hukum Jessica, Otto Hasibuan, memberikan pandangan yang kritis terhadap hukuman ini. Menurutnya, terdapat ruang keragu-raguan dalam tuntutan dan vonis hukuman ini. Dalam pandangannya, jika terdakwa benar-benar bersalah, hukuman seumur hidup mungkin lebih sesuai atau bebas sama sekali dari tuntutan. Pendapat ini seolah menantang jaksa dan hakim yang ragu-ragu dalam memutus perkara.
Putusan pengadilan tidak hanya mencerminkan kompleksitas kasus ini, tetapi juga memicu pertanyaan tentang sistem hukum itu sendiri. Hukum adalah instrumen kompleks untuk mencari keadilan, dan interpretasi serta aplikasinya memerlukan kehati-hatian dan obyektivitas.
Sebagai pengacara tentu menghormati proses hukum tersebut. Namun, tak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa keadilan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Ini adalah landasan etika bagi setiap praktisi hukum dan penegak hukum. Dalam hal ini, adalah hak setiap individu untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya. Tentunya dalam proses hukum yang adil dan transparan. Prinsip ini adalah tiang penyangga dari sistem hukum yang adil dan menjamin hak-hak setiap warga negara. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan integritas dan keadilan.
Belakangan, Ayah Mirna, Edi Darmawan Salihin, menjadi sorotan. Dalam sebuah film “Ice Cold” ia meminta maaf di depan makam putrinya dan membuat pengakuan mengejutkan yang menimbulkan kecurigaan. Ia secara tidak sengaja mengungkapkan bahwa ia memiliki botol sianida. Selain itu, dalam film tersebut, Edi Darmawan juga mengungkapkan perasaannya setelah berhasil mengalahkan Otto Hasibuan di persidangan.